Perusahaan teknologi, baik startup lokal maupun raksasa global (Big Tech), bukan lagi entitas bisnis murni; mereka adalah pemain politik yang kuat. Artikel ini menganalisis strategi perusahaan teknologi dalam menavigasi lanskap politik Indonesia yang kompleks, mulai dari lobi regulasi, kepatuhan terhadap undang-undang kontroversial, hingga pengelolaan disinformasi di platform mereka.
Di Indonesia, perusahaan teknologi raksasa beroperasi di persimpangan antara inovasi dan regulasi. Mereka harus melobi pemerintah untuk menciptakan aturan yang menguntungkan model bisnis mereka (misalnya, regulasi fintech atau e-commerce). Pada saat yang sama, mereka harus mematuhi tuntutan pemerintah yang seringkali rumit, seperti aturan Pendaftaran Sistem Elektronik (PSE) atau permintaan sensor konten.
Tantangan terbesar adalah menyeimbangkan antara kepatuhan terhadap hukum lokal dan komitmen global mereka terhadap kebebasan berekspresi. Ketika pemerintah meminta penghapusan konten yang dianggap kritis atau berpotensi menimbulkan kerusuhan (misalnya, saat pemilu), perusahaan teknologi berada dalam posisi sulit. Menolak bisa mengancam izin operasi mereka; mematuhi bisa dituduh sebagai alat sensor.
Perusahaan seperti Gojek, Grab, Meta, dan Google di Indonesia tidak hanya mempekerjakan engineer, tetapi juga tim Government Relations dan Public Policy yang kuat. Mereka secara aktif terlibat dalam perumusan undang-undang (seperti UU Perlindungan Data Pribadi) untuk memastikan kepentingan bisnis mereka aman. Mereka bukan lagi hanya penyedia layanan, tetapi aktor politik yang membentuk masa depan digital dan sosial Indonesia.

