Media sosial telah mengubah lanskap komunikasi publik, namun juga menciptakan “ruang gema” (echo chambers) dan “filter gelembung” (filter bubbles) yang memperkuat polarisasi. Artikel ini membahas bagaimana platform digital, yang didorong oleh algoritma, menjadi tantangan serius bagi kebhinnekaan Indonesia, serta perlunya literasi digital untuk melawan disinformasi dan ujaran kebencian.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang menjadi fondasi bangsa, kini menghadapi ujian terberatnya di ranah digital. Algoritma media sosial dirancang untuk memaksimalkan engagement, yang seringkali berarti menyajikan konten yang paling provokatif atau yang paling sesuai dengan keyakinan pengguna. Ini secara tidak sadar mengisolasi individu dalam gelembung informasi mereka sendiri, di mana pandangan yang berbeda dianggap sebagai “musuh”.
Hasilnya adalah polarisasi politik dan sosial yang semakin tajam. Isu-isu sensitif terkait SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan) dengan mudah dieksploitasi oleh kelompok-kelompok kepentingan untuk memecah belah. Hoaks, disinformasi, dan ujaran kebencian menyebar lebih cepat daripada klarifikasi, mengikis kepercayaan sosial dan toleransi yang telah lama dibangun.
Merawat kebhinnekaan di era ini membutuhkan upaya multi-pihak. Bukan hanya tugas pemerintah untuk melakukan penegakan hukum (melalui UU ITE), tetapi juga tanggung jawab platform untuk mengelola algoritmanya. Namun, yang terpenting adalah tanggung jawab individu: memutus rantai kebencian, memverifikasi informasi sebelum berbagi, dan secara sadar “keluar” dari gelembung nyaman kita untuk berdialog dengan mereka yang berbeda pandangan.

