Jakarta – Pengembangan Infrastruktur Kritis—seperti kereta cepat, pelabuhan laut dalam, dan jaringan energi—menjadi prioritas utama di Asia Tenggara untuk mendorong pertumbuhan. Namun, banyak proyek ini dibiayai oleh pinjaman besar dari Tiongkok melalui inisiatif Belt and Road Initiative (BRI), yang memicu dilema utang dan kedaulatan nasional yang kompleks.
Meskipun investasi Tiongkok menyediakan modal yang sangat dibutuhkan untuk proyek skala besar, banyak negara menghadapi kesulitan membayar kembali pinjaman tersebut, terutama setelah gejolak ekonomi pasca-pandemi. Kondisi pinjaman yang terkadang kurang transparan dan persyaratan yang ketat telah menimbulkan kekhawatiran tentang “Diplomasi Jebakan Utang” (Debt-Trap Diplomacy), di mana kegagalan pembayaran dapat memaksa negara penerima menyerahkan kendali strategis atas aset-aset infrastruktur penting mereka.
Pemerintah regional kini mencari pendekatan pendanaan yang lebih seimbang. Ini termasuk mencari pendanaan dari lembaga multilateral seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB), serta mempromosikan skema Kemitraan Publik-Swasta (KPS) yang lebih ketat. Tujuannya adalah memastikan bahwa pembangunan infrastruktur jangka panjang tidak mengorbankan stabilitas fiskal atau kontrol strategis negara atas aset-aset penting yang merupakan tulang punggung ekonomi nasional.